Sabar adalah
pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id,
hal. 95)
Pengertian
Sabar
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah
meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari
perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah
dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam
Sabar
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu
terbagi menjadi tiga macam:
- Bersabar
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
- Bersabar
untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
- Bersabar
dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal
yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia
ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal.
24)
Sebab Meraih
Kemuliaan
Di dalam Taisir
Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan
sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan
bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal
shalih.
Di samping
itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di
antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai
kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan
shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu
mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani
semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih
kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk
surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d
[13] : 24).
Allah juga
berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS.
Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu
Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini
ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan,
hal. 375)
Sabar Dalam
Ketaatan
Sabar Dalam
Menuntut Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang
yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian,
mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga Allah
merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari
orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh
darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan
kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul
wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam
Mengamalkan Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia
melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah
niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya,
demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan
nenek moyang mereka.
Sehingga
gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di
zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang
sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita,
Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam
Berdakwah
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya,
karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah
bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang
kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga
jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak
di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan
perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As
Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula
jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya
para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut
bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua
akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka
dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)
Sabar dan
Kemenangan
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul
sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan
mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]:
34).
Semakin
besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan.
Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang
(da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud.
Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah
kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga
menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk
pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib
bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten
dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang
sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi
rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi
wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan
sekaligus.
Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang
datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang
sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza
wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi
ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan
[25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu
semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas
Islam
Ingatlah
bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang
teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh
majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran,
hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami
oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang
sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah
keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh
ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok
makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan
tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu
memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak
akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133)
Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang
walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku,
ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang
berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan
tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan
daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah
tauhid di masa silam.
Mereka
disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai
meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan
pilar keimanan mereka.
Ingatlah
firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] :
102).
Ingatlah
juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya
dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada
kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah
Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain,
III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar
Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid
bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena
bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan
mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di
dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara
mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa
karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur,
dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi,
dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq
kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya,
Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan
di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara
mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah
itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka
wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai,
maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang
sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan
diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila
seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan
menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti
kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan
Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan
menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan
ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.”
(HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…”
(Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar
Menerima Takdir
Syaikh Zaid
bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam
kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta
hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi
berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta
dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah
di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan
Tauhid
Syaikh Al
Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal
iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi
takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh
Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala
mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar
tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk
salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati,
gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan
yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini
dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga
berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba
supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat
penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi
larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang
dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa
hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan
melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian
dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman
Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah
ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan
Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat
pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian.
Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian
yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan
larangan.
Untuk
melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat
menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan
bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya
sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari
maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat
sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal
itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan
oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan
rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang
tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan
itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu
beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara
bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran”
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam
tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.
Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut
sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan
dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar
adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan
maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan
beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan
perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa
sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan
melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah
(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap
cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit
adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang
keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At
Tamhiid, hal.389-391)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar